Biaya Kesehatan di Indonesia Mahal?
Saturday, April 19, 2014Ilustrasi google |
FEBRUARI 2013
Sekitar
akhir Januari 2013, saya mendapatkan telp dari seorang teman. Dia menawari saya
mengikuti sebuah kompetisi berbasis kemasyarakatan. Bisa dibilang pekerjaan
sosial yang dikompetisikan. Karena tertarik, otomatis saya yang sedang libur
semester di Cilacap harus kembali ke Semarang.
Sesampainya
di Semarang, saya diperkenalkan dengan beberapa anggota tim yang lain. Setelah
berkenalan dan diberi penjelasan mengenai konsep kompetisi yang akan kita
ikuti, kemudian saya pulang ke kos.
Akhirnya
beberapa hari berlalu. Datang berita dari anggota kelompok saya, kalau kelompok
kami memiliki tambahan anggota yang berasal dari Korea, Jepang, dan Mesir. Oh
iya, kebetulan sebelumnya kelompok saya mengikuti semacam acara ‘menginap bersama
bule’, tapi kebetulan saya berhalangan hadir. Sebenarnya alasan saya tidak
hadir ada 2 :
- Anggota kelompok saya, cewek semua (kecuali saya). Bayangkan apa yang akan terjadi apabila...
- Saya pemuda sibuk. Ehm... ada acara kompetisi lainnya. hehe
BULE???
Udah kepikiran aja nih, bahasa Inggris saya kan agak hancur, gimana mau ngomomg
sama bule! Perlu Anda ketahui, selama ini saya sudah mengikuti bimbingan bahasa
Inggris mulai dari persiapan TOEFL sampai conversation, tapi hasilnya nihil!
Maksudnya nihil disini, kalo saya nonton film bule atau ngomong sama bule, saya
tetep nggak ngerti artinya. Hiks. Tapi kalo masalah tertulis lumayanlah. Hasil
test TOEFL saya per April 2014 adalah 553. Cukup untuk ambil Fast Track. Aminn.
(sombong dikit ye hehe)
Akhirnya
yang ditunggu datang. Kami ketemuan sama si bule-bule itu. Kelompok kami
dipecah menjadi kelompok-kelompok kecil karena memang tugasnya yang cukup
banyak. Saya kebagian dapet kelompok kecil bareng bule Korea. Singkat cerita
saya jadi akrab sama si bule Korea. (Nggak
terlalu akrab juga si, sayanya yang sok akrab). Kalian pengen tau bagaimana
caranya saya komunikasi sama bule ini? Nih contohnya :
Amar
: (ngasih jaket almamater buat dipake
masuk ke perusahaan buat cari sponsor) Mina, use it... (sambil meragain cara pake jaket)
Mina
: This? Okey (dia pake) (terus dia bercincong tanya jaket yang saya
kasih punya siapa, pokoknya bahasanya kagak jelas banget deh, tapi intinya saya
tau)
Amar
: The jacket belongs to Tya (kagak tau
deh saya jawabnya bener atau nggak. Intinya jaket almamater itu punya si Tya)
Mina
: Oh okey. (terus si bule diem masuk ke
perusahaan)
Satu jam kemudian, saya
sama si Mina (oh ya, si bule korea namanya Mina) keluar dari perusahaan. Eh
tiba-tiba dia nyletuk.
Mina : Mar, jaket ini
punya siapa? (pake bahasa inggris tentunya)
Amar : Sugondo
Joyopuspito
Mina : Oh okey...
Sugondo
Nah,
berbekal kedekatan dengan bule Korea itu, saya jadi agak-agak terkena gelombang
K-POP. Terutama filmnya. Beberapa hari setelah berkeliling kota Semarang
bersama Mina, saya putuskan untuk tinggal di kosan dan melihat semua film Korea
yang sudah saya copy dari tetangga kost saya, namanya Mas Wawan. Btw, Mas Wawan
ini sohib saya banget. Dia ini mahasiswa jurusan kimia, alhamdulillah dia lulus
pertengahan tahun lalu. Banyak film Korea yang saya kopi dari Dia, mulai dari
drama seri sampai film layar lebar tertata rapi di laptop saya pada waktu itu.
Waktu
menunjukan pukul 16.30, saya masih ingat, saya sedang menonton film Korea
berjudul ‘Chiling Romance’. Tiba-tiba kuping saya gatal. Apa yang Anda lakukan
ketika kuping Anda gatal? Yup... Ambil cotton
buds dan bersihkan kopoknya. Hal
itu juga yang saya lakukan sembari melihat keseruan film Korea. Kenikmatan
dalam membersihkan telinga sembari melihat film jika digambarkan dengan kurva,
maka bentuknya seperti parabola. Terdiri dari 3 fase. Fase awal : kenikmatan
sedang, Fase puncak : dimana semua otot anda merasa rileks, dan Fase akhir :
dimana kenikmatan berkurang.
kurva parabolik korek kuping |
Setelah
melewati Fase Akhir, saya keluarkan si cottons buds dari dalam lubang telinga.
Dan apa yang terjadi??? Naujubileh,
kapasnya ketinggalan di telinga!
Saya
coba segenap hati untuk mengeluarkan si kapas cotton buds jahanam tersebut dari
dalam lubang telinga saya dengan berbagai macam cara. Berikut daftar cara yang
pernah saya gunakan :
- Memiringkan kepala searah lubang telinga yang tersumpal kapas dan mengguncangnya berharap si kapas jatuh. (GAGAL)
- Menarik kapas dengan batang cotton buds yang sudah tidak ada kapasnya, dengan cara menjepit kapas yang ada di dalam telinga menggunakan batang cotton buds dan menariknya keluar. (GAGAL)
- Membuat sumpit dari batang cotton buds dan berusaha menjebit kapas dengan sumpit tersebut. (GAGAL)
- Menetesi lubang telingan dengan air kemudian memiringkan kepala searah lubang telinga yang tersumpal kapas dan mengguncangnya berharap si kapas jatuh. (GAGAL)
Empat
cara tersebut berulang-ulang saya lakukan dan berakhir sampai pukul 18.30
karena lelah dan lemas. Bayangkan 2 jam bro! Saya putuskan untuk menelpon mamah
saya dan meminta nasehatnya. Berdasarkan nasehatnya saya disuruh untuk langsung
masuk ke UGD.
Singkat
cerita saya langsung ngacir ke Rumah Sakit terdekat. Saya kira malam-malam
Rumah Sakit sudah sepi, eh ternyata masih ramai. Disana saya lihat beberapa
orang duduk mengantri di loket pendaftaran dan loket pembelian obat. Saya antri
di loket pendaftaran. Giliran saya untuk maju ke loket pendaftaran.
Penjaga
loket : Bisa saya bantu?
Amar : Mas, dokter THT nya ada?
Penjaga
loket : Kalo THT adanya waktu praktek mas,
besok pagi...
Amar : Oh gitu... (muka sedih ala pria
Korea)
Penjaga
loket : Ada apa mas?
Amar : Ada cotton buds ketinggalan di
telinga saya mas...
Penjaga loket : APAAAAAA??? (Muka syok..., tiba-tiba semua orang yang antri di
Rumah Sakit memalingkan muka ke arah saya)
Amar :
Iya mas... ada cotton buds ketinggalan di telinga saya mas. (orang-orang
antrian di blakang saya ketawa-ketawa sendiri... semprul!)
Malam
itu adalah salah satu malam terpanjang dalam hidup saya. Saya dimasukkan
kedalam ruang “kaya ruang operasi”
tapi saya yakin bukan ruang operasi. Kemudian seorang berseragam putih mulai
mengobservasi telinga saya. Butuh waktu 15 menit untuk mengeluarkan kapas jahanam
tersebut.
Setelah
selesai, saya menuju loket pendaftaran tadi untuk membayar. Dan berapa harga
untuk sebuah kapas lakhnatullah tersebut? Rp 100.000,00... Sebuah harga yang ‘wah’
untuk mahasiswa seperti saya. Untungnya saya membawa uang yang cukup. Bayangkan
apabila orang lain memiliki masalah ‘kapas ditelinga’ tapi tidak memiliki uang
Rp100.000,00. hiks
APRIL 2014
Kisah
ini baru saja terjadi. Bahkan sampai saat saya menulis artikel ini, sisa-sisa
pertarungannya masih ada ditubuh saya.
Kamis,
10 April 2014, saya bersama ketiga teman saya mengerjakan tugas di dalam kamar
kos saya. Artinya ada 4 orang di dalam kamar saya termasuk saya. Kebayang dong
betapa penuh dengan karbon dioksida, apalagi kamar kos saya termasuk tipe SSSSS.
Sempit Sekali Sampai Selonjor Saja Susah.
Pukul
10 malam, karena keadaan yang memang ngantuk, teman saya bertanya apakah ada
yang punya rokok. Nah, kebetulan sejak sebulan sebelumnya, saya iseng-iseng
nyoba yang namanya rokok dan masih ada beberapa linting rokok yang belum
dibakar. Hehe... karena saya punya rokok, alhasil saya dan teman saya yang
bertanya tadi, merokok di dalam kamar saya. Kebayang dong sumpeknya kayak apa.
rokoknya model ginian. hehe |
Waktu
berlalu sampai pukul 11. Pekerjaan kami selesai, dan teman-teman saya cabut
dari kosan saya. Begitu mereka keluar dari kamar kos, saya langsung tidur. Alhasil
kamar masih penuh dengan zat-zat aditif dan belum saya bereskan. Keesokan
paginya, badan saya panas, dan tenggorokan saya sakit! BAGUS!
Pada
dasarnya, saya jarang sekali pergi ke dokter. Biasanya masalah flu seperti ini
satu hari saja juga sudah sembuh (tidur dan sembuh), tapi yang ini beda. Sudah 3
hari kok belum sembuh-sembuh. Padahal saya banyak sekali tugas kuliah yang
tidak mungkin diselesaikan dengan baik apabila keadaan badan saya panas dan
pusing. Karena masalah ini itu, saya berobat ke dokter pada hari senin.
Saya
putuskan untuk pergi ke PUSKESMAS, karena lokasinya yang dekat dengan tempat
kos saya. Masalah kesehatan, otomatis saya siapkan uang yang lebih, sekitar 100
ribu rupiah. Berdasarkan pengalaman, saya pernah mengantar teman saya yang
sakit demam berobat ke praktek dokter tidak jauh dari kawasan kampus dan untuk
biaya berobat dan obatnya dikenai sekitar 80 ribu. Jadi pikir saya lebih aman
bila saya membawa uang 100 rb.
Saya
sampai di Puskesmas sekitar pukul 9 pagi. Tidak perlu mengatri, karena yang
datang hanya sedikit orang. Pelayan loketnya ada dua orang wanita, usia sekitar
35 tahunan.
Pelayan
loket : Ada yang bisa saya bantu mas?
Amar : Saya mau berobat mbak.
Pelayan
loket : Sudah pernah berobat disini? KTP
nya domisili mana ya?
Amar : Belum. Cilacap mbak
Pelayan
loket : Dikenai biaya pendaftaran 5
ribu rupiah ya.
Tiba-tiba
si ibu-ibu pelayan loket tadi ngupil! Sumpah ngupil sambil nyatet nama saya di
kertas! Saya tunggu si Ibu-ibu tadi selesai ngupil+nyatet nama saya baru saya
kasih dia uang 10 rb rupiah untuk bayar pendaftaran. Dia ngupil pake tangan
kiri, terus dia kasih uang kembalian 5 ribu rupiah ke saya pake tangan kiri! Sumpah
kurang ajar!
Ilustrasinya |
Kita
lupakan ibu-ibu 35 tahunan dan upilnya sejenak.
Nah,
setelah itu saya dipanggil menuju ruang dokter. Saya tumpahkan segala perasaan
saya kepada si dokter. Setelah selesai diperiksa, saya keluar ruangan, menunggu
sebentar dan mendapat beberapa obat. Kemudian saya menuju loket ibu-ibu upil
dan bertanya apakah obatnya bayar lagi. Kemudian ibu-ibu upil tadi berkata
kalau 5 ribu rupiah tadi sudah mencakup semua biaya obat dan pemeriksaan. Alhamdulillah,
kena upil nggak papa deh, yang
penting Cuma 5 ribu... yeay!
Obat-obatan yang diresepkan dokter. Saya ke Puskesmas tersebut 2 kali karena ada alergi antibiotik |
Bayangkan
saja, berobat cuma 5 ribu rupiah, bahkan bisa gratis kalau Anda memiliki KTP
domisili puskesmas setempat. Orang-orang dimedia bilang katanya biaya berobat
bagi orang tidak mampu mahal, tapi saya masih menemukan tempat berobat murah
lho! Oke, memang penanganan dan obatnya berbeda, tapi yang penting sembuh, dan
saya sembuh.
AYO
KE PUSKESMAS!
PS :
1. Memang
tidak bisa dibandingkan antara kejadian Februari 2013 dan April 2014, karena
jenis penyakitnya yang memang jauh berbeda. Tapi ada yang bisa kita lihat
disini, kesungguhan pemerintah Indonesia untuk menangani masalah kesehatan bagi
masyarakat menengah kebawah memang ada. Saya optimis, siapapun pemimpin
Indonesia di tahun 2014 ini, Republik yang saya cintai ini akan terus merubah
dirinya menjadi lebih baik. Amin!
2. Jangan sentuh yang namanya ROKOK!
2. Jangan sentuh yang namanya ROKOK!
3 komentar
Saya baca dari awal hingga akhir tanpa terlewat sedikitpun.Pengalaman yang menarik sob,lanjutkan ;)
ReplyDeleteSemoga pengalaman saya yang sedikit ini bisa membantu... thnks for visit Ahmad...
ReplyDeletehahaha.. pembawaan cerita yang bagus, dari tadi saya ktawa mulu baca crita kamu.. bikin novel gih
ReplyDeleteSalam kenal gan... Silahkan berkomentar