2. Ekspedisi Pedaksina Bag 2

Saturday, March 27, 2021

Dr. Katherin mulai menceritakan kepadaku tentang semua hal yang tercatat pada Lontar Emas itu. Aku mengingat malam itu, dibawah naungan lampu berwarna kekuningan dan suara hujan yang berisik, segala yang dikatakan oleh Kathy menjadi begitu nyata di benakku. Dia memulai ceritanya dengan sebuah titah Raja kepada salah satu Tumenggungnya.

-----------------------------------------------------------------------------------------
Wikramawardhana


Saat itu Majapahit dipimpim oleh Paduka Maharaja Wikramawardhana. Berbagai wilayah telah ditaklukan, baik menjadi daerah langsung maupun daerah Vasal. Armada angkatan lautnya telah menyebar ke arah barat hingga ke Melayu, ke utara hingga ke Kutai, dan ke Timur hingga ke Tidore. Maharaja merasa perlu melakukan pengiriman armada ke selatan Jawadwipa. Hal ini terinspirasi oleh para pelaut Bugis yang sukses melakukan perdagangan emas yang mereka ambil dari samudra selatan yang jauh dari Jawadwipa. Kemakmuran dan kejayaan terlihat di pemukiman pelaut Bugis dipesisir utara dekat Lasem. Pelaut Bugis bersaksi bahwa pemukimannya di Tegerak (daratan luas di selatan, kini di sebut Australia Barat) sering didatangi bangsa Gilitua untuk berdagang. Bangsa Gilitua membutuhkan rempah-rempah dan menukarnya dengan emas yang mereka miliki.

Pada tahun 1343 saka (1421 masehi) dibulan Srawanamasa (Juli), Maharaja Wikramawardhana memerintahkan Tumenggung Gajah Lembong untuk pergi melakukan perjalanan mencari lokasi Bangsa Gilitua. Tujuannya adalah untuk menjalin hubungan diplomatik. Gajah lembong pergi menggunakan 5 kapal dengan total 78 prajurit melalui pelabuhan Kambang Putih di Tuban. Dia membawa 5 Sorengpati atau kepala prajurit. Masing-masing dari mereka mengepalai satu kapal penuh dengan muatan rempah. Mereka adalah Bhre Demong, Bhre Madukara, Bhre Tandes, Bhre Lancap, dan Uleng Tepu. Dari kelimanya, Uleng Tepu satu-satunya keturunan Bugis dan satu-satunya orang yang pernah menuju Tegerak.

Mereka bergerak mengandalkan 3 layar pada kapal bercadik. Menuju Timur kemudian berbelok melalui selat Bali, terus menuju ke Selatan. Mereka sempat berhenti sejenak di Pulau Bali di sebuah daerah bernama Pulukan untuk menambah persedian makanan dan air. Hal ini sebagai persiapan untuk mengarungi samudra luas tanpa daratan. Banyak buah asam yang mereka bawa sebagai persediaan makan, selain karena awet dalam perjalanan jauh, asam juga mengandung gula sebagai penambah energi.

Beberapa saat di Pulau Bali, Gajah Lembong dan para Sorengpati mengarungi Samudra Hindia. Samudra yang keras dan tak kenal ampun menyebabkan beberapa orang prajurit gugur di bulan pertama. Mereka gugur akibat daya tahan tubuh yang menurun, kekurangan makan bergizi, dan terpapar angin laut. Gajah Lembong mengadakan upacara buang mayat menggunakan tradisi Hindu.

Pada suatu malam, layar kapal terkulai lemah, angin sama sekali tidak berhembus. Bintang dan bulan terlihat jelas. Permukaan laut yang tenang memantulan cahaya langit seperti cermin, menyebabkan batas horizon antara laut dan langit menyatu. 


"Besok akan ada badai besar Tuan." Uleng Tepu memperingatkan Gajah Lembong.

"Peringatkan kapal lainnya untuk bersiap-siap menghadapi badai," perintah Gajah Lembong.

Uleng Tepu menerima perintah Gajah Lembong dan memberikan isyarat kepada prajuritnya untuk meniup sangkala. Dimalam yang sunyi itu suara sangkala sangat jelas terdengar. Kapal-kapal yang lain bersautan meniupkan sangkala sebagai tanda mendengar peringatan badai. Segera setiap kapal menurunkan layarnya, bersiap-siap menghadapi badai esok harinya.

Benar saja, ketika sang surya terbit, dari arah barat samar-samar terlihat awan hitam besar menghadang. Saat ini angin bertiup mulai kencang. Gajah lembong memerintahkan para prajurit untuk mengikatkan badannya ke kapal. Deck kapal pun sudah kosong, semua barang bawaan telah aman masuk ke lambung kapal dan terikat dengan kencang.

Salah seorang prajurit melemparkan Jangkar supaya kapal tetap seimbang ketika terkena ombak. Kini suasana gelap menyelimuti rombongan. Satu kapal dengan yang lainnya sudah tidak terlihat. Mereka berkomunikasi melalui tiupan sangkala supaya tidak saling tabrak.

Uleng Tepu mengambil kemudi nahkoda. Dia mengarahkan kapal tegak lurus terhadap arah datangnya ombak besar. Dia memerintahakan seorang prajuritnya untuk melemparkan ember kayu yang sudah terikat ke kapal untuk membantu menyeimbanngkan kapal. Disini keahlian nya sebagai nahkoda diuji.

Tiba-tiba dari arah samping kapal ombak besar datang menghantam kapal. Seluruh deck tersapu air laut. Prajurit yang berada diatas deck terpental, termasuk Uleng Tepu. Berunutung ada tali yang mengikat tubuhnya, dengan satu gerakan dia berhasil bangkit berdiri dan menguasai kapal. Prajurit lain terpental hingga jatuh ke laut dan terlepas dari ikatan talinya.

"Heee... tetap di permukaan." Uleng Tepu memperingatkan prajuritnya yang jatuh ke laut.

Uleng Tepu berbelok kencang mengejar seorang prajurit yang terjatuh tadi. Ombak silih berganti mendorong si prajurit menjauh dari kapal. Sampai sejauh ini samar-samar Uleng Tepu masih bisa melihat kepala bawahannya itu. Uleng Tepu memerintahkan prajuritnya untuk memegang kemudi. Sementara itu dengan gerakan spontan, dia mengambil panah dan mengikatkan tali pada anak panah. Sesaat dia berkonsentrasi membidik kearah si prajurit di lautan. Wuss... anak panah yang telah diikat tali meluncur tajam membelah angin dan hujan, jatuh tepat di depan si prajurit. Dengan sigap si prajurit menangkap anak panah dan mengalungkan tali ke tubuhnya. Dia terselamatkan.

"Ikat badanmu dengan kencang." Uleng Tepu memperingatkan prajurit itu.

Badai masih berlanjut. Kapal bercadik mereka benar-benar dipermainkan lautan. Cadik dari kapal Uleng Tepu terkoyak. Mereka hanya bisa mengandalkan satu cadik untuk menyeimbangkan kapal dalam badai.

Beberapa waktu kemudian diujung horizon terlihat cahaya. Angin dan ombak bertiup lebih tenang. Di samping kapalnya, Uleng Tepu bisa melihat kapal Bhre Tendes. Sisa kapal yang lainnya hanya terdengar suara sangkalanya.

Setelah melewati badai, Uleng Tepu dan Bhre Tandes saling menautkan kapal. Tiang kapal utama milik Bhre Tandes terlihat patah, namun seluruh awaknya selamat. Gajah Lembong memerintahkan mereka untuk berdiam sesaat menunggu kapal-kapal yang lain sembari memperbaiki kapal yang rusak.

Cadik dari kapal Uleng Tepu diperbaiki dengan mengikatkan simpulnya menggunakan tali rotan yang sudah mereka bawa. Beberapa bagian kapal juga perlu diperkuat menggunakan pasak supaya tidak lepas ketika terkena badai selanjutnya.

Setelah menunggu beberapa saat, kapal milik Bhre Lancap dan Bhre Demong terlihat. Mereka melaporkan kondisi kapal baik-baik saja dan awak nya pun lengkap. Hanya kapal milik Bhre Madukara yang tidak kunjung muncul. Awak kapal milik Bhre Lancap sempat melihat kapal milik Bhre Madukara terhantam ombak samping. Kemungkinan mereka semua tidak selamat.

Pada akhirnya Gajah Lembong memutuskan untuk melanjutkan perjalanan tanpa Bhre Madukara.

"Berapa lama lagi sampai kita sampai di Tegerak?" tanya Gajah Lembong

"Seharusnya dalam 3 malam kita sudah bisa sampai Gusti. Mengingat badai yang kita alami, menurut perhitungan saya, setidaknya kedatangan kita mundur 2 malam," jawab Uleng Tepu.

You Might Also Like

6 komentar

  1. Apa ini cerbung berlatar sejarah atau gimana Kak?

    Tokoh dan alur cerita yang ada fiktif atau gmna Kak?

    ReplyDelete
  2. saya keinget bukunya adhitya mulya yang berlatar sejarah dengan elemen humor yang kental
    novel sejenis ini langka, semoga segera terselesaikan dan bisa terbit ya bukunya

    ReplyDelete
  3. Min ini cerita berlatar sejarah apa emg kisah sejarah kayak babad gitu?

    ReplyDelete
  4. ٱلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ

    ReplyDelete
  5. I like, Kak. Menunggu up terbaru di wattpad.

    ReplyDelete

Salam kenal gan... Silahkan berkomentar



“Orang boleh pandai setinggi langit,
tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Pramoedya Ananta Toer