MATRUPI - (BAB 4 - Jumat, 17 Desember 1965)

Tuesday, November 12, 2019


Hidup pada dasarnya hanyalah sebuah daur tebar dan tuai. Apa yang yang kita perbuat dihari ini akan kita dapat ganjarannya dihari esok, begitulah sekiranya pemahaman Setra dalam hidup. Sederhana dan sangat mendalam seperti proses bertani, bibit yang baik akan mengahasilkan panen yang baik pula.

"Kok, jadi kepikiran si penyuluh dari Barisan Tani itu. Apakabar ya dia ?" kata Matrupi kepada suaminya. Setra selalu bercerita kepada Matrupi tentang kegiatannya di Barisan Tani. Mulai dari pupuk urea yang didapatkannya secara gratis atau cara bagaimana membasmi hama wereng menggunakan cairan cabai sampai siapa yang dia temui disetiap kegiatannya. Jadi Matrupi hafal dengan nama penyuluh yang memberikan emblem palu arit kepada Setra.

"Ya pasti baik-baik saja, toh huru-hara nya di Jakarta." jawab Setra datar. "Lagi pula dia orang baik."

Sepanjang pagi hingga siang, Matrupi dan Setra mendengarkan radio, karena hujan yang deras mengahalangi Setra untuk pergi ke sawah. Si penyiar radio masih meneruskan beritanya. Rangkaian kata seperti Cakrabirawa, Partai Komunis Indonesia, Dewan Jendral, Lubang Buaya banyak di dengungkan si penyiar berita. Narasinya semakin jelas tergambar bahwa keadaan Ibu Kota sedang darurat. Telah terjadi pemberontakan oleh Partai Komunis Indonesia yang di ketua oleh Bung Aidit.

------------------------------------------

Hujan mulai reda di Kebonrejo, sebagai seorang muslim, Setra berangkat ke masjid untuk Jumatan. Udara yang sejuk diluar rumah menggoda Matrupi untuk sekedar keluar dan menikmati suasana setelah hujan. Sekitarnya sepi, mungkin karena para lelaki berkumpul di masjid, sedangkan para istri lebih memilih tidur dirumah menikmati udara dingin. Di ujung jalan Matrupi bisa melihat truck besar yang berjalan dengan kecepatan cukup tinggi sehingga badannya doyong, begerak tidak seimbang, karena jalan makadam yang becek terkena hujan. Saat truck tepat melewati depan rumahnya, Matrupi bisa melihat samar lambang palu arit berwarna merah di penutup bak trucknya. Di dalamnya terlihat beberapa orang pria berpakaian loreng coklat.

Jarang ada mobil melewati jalanan desa Kebonrejo. Sebisa Matrupi ingat, terakhir kali mobil lewat jalan desa adalah saat seorang perwira angkatan darat berkunjung ke rumah Kepala Desa menggunakan mobil jeep, mungkin tahun lalu. Jadi pasti ada suatu hal penting yang harus dilakukan si pemilik truck sampai-sampai mau memarkirkan mobilnya di Kebonrejo.

-------------------------------------

Tidak seperti hari jumat sebelumnya, Setra belum juga pulang menjelang sore. Ada rasa khawatir yang tersirat di hati Matrupi. Biasanya Setra pulang dulu ke rumah setelah Jumatan, baru melakukan aktivitas lainnya.

Sore itu hujan cukup lebat. Sayup-sayup suara azan sudah terdengar. Matrupi yang saat itu sedang menggendong anaknya dikagetkan dengan suara gedoran pintu. Dengan panik sembari membopong anaknya, Matrupi membukakan pintu. Ternyata suaminya pulang. Badannya basah terkena guyuran hujan. Sesaat Matrupi bertanya-tanya ada apa dengan suaminya, mukanya pucat bukan karena kedinginan tapi seperti ketakutan.

Matrupi mengambilkan suaminya itu handuk untuk sekedar mengeringkan rambut dan badannya. Sampai saat itu Setra diam tidak bercerita. Matrupi pun tidak bertanya, membiarkan suaminya itu tenang sembari memberikan secangkir teh hangat.

"Semua orang yang dekat dengan Komunis ditangkap dek." kata Setra, pandangannya kosong. Saat itu Matrupi sedikit demi sedikit diceritakan apa yang sudah Setra alami siang tadi.

Sepulang Jumatan, seorang kenalannya dari Barisan Tani memanggil Setra untuk berkumpul di kantor sekertariat. Kabarnya ada petinggi partai yang jauh-jauh datang dari kota untuk memberikan sejumlah bantuan. Dari pada pulang ke rumah dan bisa kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pupuk gratis, lebih baik mampir dulu ke kantor sekertariat Barisan Tani. Setra memutuskan untuk mampir terlebih dulu ke kantor sekertariat.

Dalam perjalanan Setra bertemu Ki Brata yang sekali lagi sedang pulang ke Kebonrejo. Lama tidak bertemu, Setra dan Ki Brata terlibat obrolan yang cukup panjang. Sebenarnya pada awalnya Setra hanya ingin berbasa-basi dengan Ki Brata, namun mau bagaimana lagi, rasa ketertarikan Setra terhadap Kota selalu membawanya nyaman untuk berbicara dengan orang yang baru pulang dari tempat modern itu.  Tidak terasa mungkin hampir setengah jam mereka ngobrol di bawah pohon asam. Udara sejuk selepas hujan membuat suasana obrolan itu mengalir. Ki Brata pamit karena harus bersiap berangkat ke kota besok subuh. Setelah berjabat tangan mereka saling memunggungi menuju arah yang berbeda.

Setra melanjutkan perjalanan ke sekretariat Barisan Tani. Rintik-rinitik hujan sudah turun. Setra memutuskan untuk lewat jalan terobosan dengan sedikit berputar, namun terlindungi dari air hujan. Dia melewati daerah perdu dengan pohon-pohon yang tinggi dan lebat. Dengan rute ini Setra sampai ke kantor sekertariat lewat pintu belakang.

Dari kejauhan sudah nampak kantor sekretariat. Disampingnya terlihat truck berwarna coklat terparkir. Karena hujan semakin deras, setra memutuskan untuk berteduh sejenak di tritisan rumah terakir dibelakang kantor sekertariat, mungkin jaraknya hanya sekitar 100 meter. Jika langsung melanjutkan perjalanan, baju Setra pasti akan basah, karena memang gerakan lari Setra tidak lincah dan pincang.

Setra dapat melihat selusin orang dibariskan dibawah rintik hujan dengan dipimpin sekitar 5 orang berbaju loreng, seperti baju tentara. Semua yang berbaris diikat tangannya dan ditutup matanya. Salah satunya dikenali Setra. Dia adalah teman Setra di barisan tani yang tadi memberi tahu untuk datang ke kantor sekertariat. Adalagi orang yang dikenal Setra sebagai simpatisan garis keras partai palu arit. Dia ini Pardi. Tahun lalu Pardi tidak ikut Ki Brata ke kota lagi, namun justru ingin bekerja di Desa. Bisa di bilang Pardi ini ketua ranting PKI di Kebonrejo.

Seseorang dari arah depan kantor tiba-tiba muncul. Dia berlari kecil untuk menghindari hujan. Dengan sigap salah satu tentara melompat dan menangkap orang itu, seperti harimau menangkap mangsanya. Orang tadi berteriak, namun samar oleh suara hujan. Karena sedikit melawan beberapa bogem dilancarkan ke perutnya.

Setra bertanya-tanya apa yang terjadi. Apakah ini terkait huru-hara di Jakarta? Badan Setra menggigil tidak bergerak. Dia diam disana takut ketahuan. Dari dalam gubuk itu terdengar suara bisik-bisik. Setra yakin orang didalam gubuk itu juga sedang melihat apa yang terjadi dikantor sekertariat.

"… tentara tadi datang sengaja menggunakan truck lambang palu arit, mungkin untuk mengelabuhi simpatisan PKI"

"Supaya mau berkumpul ya?"

"Iya, barusan…(suara tidak jelas)… diumumkan penumpasan PKI."

Suara dari dalam bilik itu seolah-olah mengejek Setra. Dari dalam hati yang paling dalam Setra bertanya untuk apa dia takut? Toh Setra bukan simpatisan PKI apalagi seorang Komunis. Dia hanya petani yang kebetulan menerima bantuan Barisan Tani. Tapi kenapa kawannya yang juga sama-sama penerima bantuan diperlakukan seperti tawanan. Apakah simpatisan seperti Pardi terlibat huru hara di Jakarta? Semua terasa sesak didada.

You Might Also Like

13 komentar

  1. Dapat ide nama tokoh "Setra" dan "Matrupi" darimana mas? Nama yang "enggak umum" menurut saya. Jadi pas baca sempet mikir, ini setting tempatnya dimana kalau nama tokohnya unik begini. Hehehe.

    ReplyDelete
  2. Ayo nulis lagi mas, penasaran gw....

    ReplyDelete
  3. Artikel yang menarik, mengingatkan saya untuk tidak lupa sejarah

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasi pak... saya mau bercerita tentang versi lain dari G30 yang dikesampingkan sejarah

      Delete
  4. ini kisah nyata bukan yah??
    ane sangka matrupi itu nama cowok mas.. heheh

    ReplyDelete
  5. Ini berdasarkan fakta ya, Mas? Sejauh yg kutahu, ada banyak orang yg sesungguhnya bukan anggota PKI, tapi ditangkap. Macem si Setra itulah. Repotnya, stigma PKI kemudian lekat pada anak keturunannya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Banyak yang sekedar menerima bantuan2 dari organisasi sayap PKI tapi namanya tercatut juga sebagai anggota PKI...

      Delete
  6. baru baca tau tau udah bagian empat aja. tapi bagus mas tulisanya. gaya tulisan dan alurnya menurut saya bagus. saya juga banyak mendengar kejadian seperti ini nih. para petani yang sekedar menerima bantuan tanpa tau apa apa di sangka simpatisan PKI. padahal para petani nya memang cuma menerima bantuan yang dibutuhkan aja.
    ps: cukup berani mengangkat tema PKI di cerita ini. nice story. di tunggu bab selanjutnya

    ReplyDelete

Salam kenal gan... Silahkan berkomentar



“Orang boleh pandai setinggi langit,
tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Pramoedya Ananta Toer