MATRUPI (BAB 9 - Ruang Interogasi)

Wednesday, January 29, 2020




Cokro memerintahkan anak buahnya untuk membawa seorang tahanan bernama Karsidi ke ruang interogasi. Didalam ruangan dengan pencahayaan minim dan lembab, dia bisa melihat seorang pria paruh baya, duduk disebuah kursi kayu dengan tangan terikat kebelakang. Kepalanya tertunduk. Badannya kurus, dengan rambut pendek awut-awutan. Samar samar terlihat pria paruh baya ini menggunakan kacamata. 

Langkah Cokro tegas mendekati pria paruh baya itu. Dipegangnya pundak Karsidi kemudian dengan pisau lipat, Cokro membuka ikatan yang ada di tangannya. Cokro melangkah menjauh menuju sebuah kursi yang ada di di meja berseberangan dengan posisinya. Sampai saat itu pandangan Karsidi masih tertunduk tangannya diletakkan diantara kedua kakinya.

"Pak karsidi…" Cokro memanggilnya lirih
"Pak karsidi… Apa benar nama Anda Karsidi?"

Pria paruh baya itu diam tak bergeming. Pandangannya masih tertunduk. Cokro memerintah ajudannya untuk mengambilkan teh hangat dan menaruhnya di atas meja. Tak berapa lama, samar-samar pria paruh baya itu tersenyum dengan pandangan yang masih menunduk sembari membetulkan posisi kacamatanya.

"Apalagi yang perlu kau tahu dari ku," tanya pria paruh baya itu. "Sepertinya keterlibatan ku sudah ku ceritakan semua".

"Pakde… saya Cokro" pandangan Karsidi kini tertuju ke arah Cokro yg kini duduk berhadapan dengan Karsidi dibatasi meja kayu. "Mungkin hanya segelas teh hangat yg bisa saya berikan sebagai tuan rumah" kata Cokro sembari mendorong cangkir teh mendekat ke arah Karsidi.

"Cokro… " Karsidi menangis menyebut nama keponakannya itu. Terisak, menundukan pandangannya kembali. 

Cukup lama ruangan itu hanya dihiasi isakan tangis Karsidi. Setelah agak tenang Karsidi mengambil cangkir yang ada didepannya, meminum tehnya. Sepertiya hati Karsidi bergetar mengetahui ada seseorang dari masa lalunya datang.

"Bude saminem datang kemarin lusa." kini Cokro memantik korek dan menyalakan sebatang rokok. "Dia khawatir" 

"Khawatir?”

“Ini Pakde...” Cokro mendorong sebungkus rokok dan pemantiknya. “Masi merokok kan?”

“Adik ku itu memang baik. Wajar dia khawatir. Ditahan bangsanya sendiri memang lebih menyedihkan ketimbang ditahan kaum imperialis." kata Karsidi sekarang menghisap rokok. 

"Boven digul?" Tanya Cokro

"Itu hanya satu fase dari perjalanan panjang." Karsidi menyeka wajahnya, membersihkan sisa air mata. "Lebih dari separuh umurku, ku habiskan di penjara yg disebut tanah jajahan oleh Londo ataupun Dai Nippon" 

“Indonesia sudah merdeka, apalagi yang Pakde cari dari gerakan ini? Bukankah apa yang dilakukan Pakde dan teman-teman seperjuangan menghianati cita-cita bersama bangsa ini?

“Cokro… kami adalah kaum revolusioner. Kami lah yang menjaga bangsa ini. Untuk mencapai cita-cita revolusioner memang dibutuhkan sedikit pengorbanan.”

“Dengan membunuh?”

“Apakah kemerdekaan Indonesia didapat di meja perundingan sembari minum-minum? Tentu tidak… Kami merebut semua itu dengan darah. Harga yang mahal memang.”

“Seperti apa gambaran bangsa ini kedepan bagi Pakde?”

“Kami hanya menginginkan sebuah tempat dimana para petani tidak kalah sejahteranya dengan tuan tanah, para buruh tidak kalah mampunya dengan pemodal, dan hal itu dapat kita lakukan apabila ada kontrol penuh dari negara di segala bidang. Itu semua membutuhkan sistem politik yang stabil, yang jauh dari praktik Korup lobi politik karena itu seharusnya Bangsa ini hanya memiliki satu partai yaitu partai Komunis.”

“Saya paham tentang bagaimana Pakde menjadi seorang komunis yang teguh. Bahkan ketika banyak politisi yang menolak keterlibatan dengan peristiwa pembunuhan Jendral, Pakde dengan tegas menerima hal ini dengan konsekuen. Bahwa Pakde adalah komunis dan akan melakukan apapun demi cita-cita revolusionernya. Walaupun bagi saya itu kesalahan besar”

“Ya, aku akui semua itu. Sejarah ditulis oleh seorang pemenang. Suatu saat nanti mungkin namaku akan ditulis sebagai seorang pemberontak. Setidaknya aku mati dengan tenang, dengan percaya pada pendirianku bahwa Komunisme akan menolong bangsa ini. Dan sebenarnya terbukti dengan Kemerdekaan kita di tahun 45.” ujar Karsidi sedikit tersenyum kecut. “Satu hal Cokro.. Satu hal…” kini Karsidi duduk lebih membungkuk seakan berusaha mendekatkan mukanya ke arah Cokro. “Di dalam sana, ada banyak manusia yang tidak paham tentang peristiwa ini. Aku hanya takut satu hal. Tentara mengintervensi hukum dan membuatnya tumpul.”

“Kami memberanggus Komunisme hingga ke akar-akarnya. Supaya dikemudian hari menjadi pelajaran bahwa tidak ada ruang untuk pemberontakan.”

“Adalah sebuah kesalahan ketika seorang petani yang ingin membersihkan lumbung padi dari hama tikus dengan cara membakar lumbung padinya. Apakah DI/TII dibereskan dengan mengadili seluruh simpatisannya? Tidak…. Hukuman hanya pada para petingginya. Apakah kemudian ideologi Islam dilarang? Tentu saja tidak. Itu juga yang seharusnya dilakukan bagi partai komunis.”

“Bagaimanapun, mencari tikus dilumbung padi adalah hal yang merepotkan. Bukankah lebih baik membakar lumbungnya dan membuat baru? Supaya tikuspun tahu kita tidak main-main dengan lumbung kita.” Cokro terkekeh ringan.

Muka Karsidi merah padam, sejenak dia diam menenangkan diri dan mengatur nafasnya supaya emosinya tidak meledak.

“Cokro anakku… didalam sel sempit itu aku hidup bersama seorang pincang. Kamu tahu apa pekerjaannya? Dia hanya seorang petani dari desa miskin yang menerima sedikit bantuan dari kami. Menurutmu apakah orang seperti ini pantas kita kategorikan sebagai tahanan politik. Bahkan aku pikir dia pun tidak paham apa itu Komunis.”

“Lalu apa yang semestinya saya lakukan? Membebaskannya dan membiarkan dia memahami apa dan bagaimana komunisme bekerja? Yang dikemudian hari dia bisa saja mengangkat senjata lagi.”

Suasana hening sejenak. Karsidi meneguk teh hangatnya.

“Lelaki pincang itu bernama Setra. Setiap malam aku amati dia selalu menangis. Dia bercerita bahwa tangisan nya ini bukan karena sakit yang diderita akibat pukulan, tendangan atau setrum karena introgasi, tapi penyesalannya menerima bantuan pupuk untuk sawahnya dari Barisan Tani. Suatu waktu dia ingin pergi ke Kota mencari penghidupan yang lebih baik sebagai buruh bangunan. Sayangnya dengan kakinya yang pincang pekerjaan itu akan sangat membebaninya dan merugikan mandor tempat nya bekerja. Pada saat yang sama datanglah Barian Tani ke desanya memberi harapan baru bagi Setra.”

“Lalu Setra menjadi simpatisan Partai?”

“Pasti… aku yakin dia adalah simpatisan partai. Memang sudah seharusnya dia berlaku seperti itu. Tidak bisa dipungkiri dengan sistem multi partai yang ada sekarang ini, setiap bantuan adalah skema korup untuk membeli suara rakyat.”

Cokro masih terus melempar pertanyaan kepada Karsidi mengenai siapa itu Setra. Pada suatu waktu dia juga bertanya mengenai penahanan Karsidi di Boven Digul yang kemudian di tahun 1943 - para tahanan politik di Boven Digul - ikut dibawa pemerintahan Hindia Belanda untuk mengungsi ke Australia karena adanya pemindahan kekuasaan ke Jepang. Pada akhirnya Cokro paham mengapa Karsidi bisa dengan tenangnya menjalani kehidupan didalam penahanan ini. Jalan hidup Karsidi memang seperti beranjak dari satu tahanan ke tahanan lainnya.

Cokro menyelesaikan kunjungannya. 

You Might Also Like

14 komentar

  1. Such a plot

    Ini dramatis banget yaa
    Keren kerennn

    ReplyDelete
  2. Kesanya seperti nonton film drama

    ReplyDelete
  3. Penasaran dengan si Setra, kira-kira siapakah dia ya :D

    ReplyDelete
  4. Tema nya lumayan berat juga, tentang ideologi, apakah memang komunis bisa menjadi paham di negara tercinta ini?

    Ini latar belakangnya tahun 1965an kali ya, setelah peristiwa G30S PKI??

    ReplyDelete
  5. Siapa karsidi sebenarnya....Dan mengapa akhir tak punya ide lari dari tahanan yang selalu membuatnya berpindah-pindah.😲😲

    Apa misi Cokro selanjutnya...Sampai berapa bab nih cerita.😊😊

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kang satria yang buat sambungannya kang, pasti seru

      Delete
  6. dengan sabar menunggu kelanjutannya...

    ReplyDelete
  7. wah kayaknya perlu waktu nih buat baca dari bab 1

    ReplyDelete
  8. Kisah dari Karsidi memang menarik untuk terus digali.

    ReplyDelete
  9. Cerita yang berat, berlatar sejarah yang kita tau alurnya seperti apa

    ReplyDelete

Salam kenal gan... Silahkan berkomentar



“Orang boleh pandai setinggi langit,
tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Pramoedya Ananta Toer