MATRUPI - (BAB 3 - SETRA WIJAYA)

Monday, November 04, 2019


Senja sebentar lagi berakhir digantikan pekatnya malam di dusun Kebonrejo. Remang-remang lampu sentir mulai menyala menghiasi rumah-rumah penduduk. Hiruk pikuk jalan makadam yang berdebu disiang hari sudah tidak tampak. Sesekali petani lewat membawa sepikul alat tanam, saling menundukan kepala untuk menyapa di temaramnya jalan.

Malam ini agak spesial bagi warga dusun, Ki Brata pulang kampung setelah 5 tahun merantau ke Kota. Beranda rumahnya menjadi lebih terang dengan adanya lampu petromak. Beberapa sanak famili datang berkunjung menengok kabar Ki brata. Kalau sebagian besar warga Dusun Kebonrejo bekerja sebagai petani, Ki Brata adalah pengecualian. Orang dikampungnya mengenal Ki Brata sebagai seorang mandor di kota. Pasca kemerdekaan, pemerintah sedang gencar-gencarnya mencari tenaga untuk membangun jalan, jembatan, dan fasilitas umum. Kebetulan Ki Brata sewaktu jaman Jepang pernah dipercaya seorang Kompetei untuk membantu membangun pabrik rokok di Semarang, jadilah Ki Brata punya pengalaman dan sedikit link untuk jadi mandor.

"Cara paling mudah mencari uang ya di Kota." kata Ki Brata. Di depannya duduk bersila beberapa pemuda tanggung. Mereka datang tak lain untuk bersilaturahmi dengan harapan diajak ke kota memperbaiki nasib, sebagian lainnya sekedar datang untuk mendengarkan cerita-cerita tentang kota yang jarang bisa didengar di Kebonrejo. "Di kota terbuka banyak peluang, Bung Karno ingin semua pembangunan di tangani oleh pribumi," terang Ki Brata seakan-akan adalah kawan dekat dengan Bung Karno. Pemuda-pemuda itu hanya bisa mengangguk anggukan kepala, berfikir untuk paham akan apa yang dikatakan Ki Brata.

"Apa hasil menjadi tukang bangunan di Kota cukup menjanjikan Ki?", tanya pemuda berpeci hitam. Sontak seiisi ruangan dipenuhi tawa, seakan menyepelekan pertanyaan pemuda ini.

"Pardi...," Ki brata memanggil seseorang dihalaman rumah untuk masuk ke teras. "Tolong dijelaskan ke Setra ini, apa yang sudah kamu peroleh selama setahun ini di Kota."

"Kebetulan saya kemarin habis beli kerbau 2 ekor Ki." jawab Pardi dengan bangganya, diikuti tatapan kagum dari para pemuda lainnya. "Tapi pekerjaannya memang berat, angkat ini itu, harus kuat berdiri dan kuat jalan."

Diskusi malam itu berlanjut hingga minyak tanah di petromak hampir habis. Keesokan paginya, kabar mulai berhembus. Beberapa pemuda berencana ikut rombongan Ki brata merantau ke kota. Ada Tukiren, Samidi, Sugeng, dan Boncos, semuanya adalah petani. Mungkin baru mereka ini di silsilah keluarganya yang memutuskan untuk merantau ke Kota dan murtad dari petani menjadi seorang buruh.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Setra duduk di bale depan rumahnya. Melamun dan memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi bila semisalnya dia ikut pergi bersama rombongan Ki Brata. Tanggung jawabnya kini besar, diumurnya yang ke 19, dia sudah menikah dengan Matrupi yang saat itu berumur 15 tahun. Pernikahan semacam ini memang wajar dijaman nya.

"Dek, kalau saya ijin merantau ke Kota boleh tidak?" tanya Setra kepada istriinya.

Mendengar pertanyaan itu, dengan buru-buru istrinya keluar dari dalam rumah gedegnya, "Memangnya mau apa dikota?" Matrupi menimpali dengan nada sedikit bercanda.

"Ya, cerita Ki Brata semalam itu sepertinya cukup menjanjikan."

"Biarkan saja to Mas mereka itu, masak semuanya harus ke kota, nanti siapa yang tinggal di sini." Matrupi sambil lalu meninggalkan suaminya yang masih menimbang berbagai kemungkinan. Dihati kecil nya, Matrupi juga ingin kehidupan yang lebih baik untuk keluarganya, tapi apakah kehidupan yang lebih baik ini harus diraih dengan jalan berpisah dengan suami? Lagi pula kaki Setra cacat, terkena ledakan mortir peninggalan Jaman Jepang saat masih kanak-kanak. Sulit untuk Setra yang pincang berkompetisi dengan para buruh bangunan lainnya.

Satu-satunya keahlian Setra adalah bertani dan dari situlah keluarga kecilnya itu mendapatkan rejeki. Bahagia menurut Setra sebagai seorang Tani sangat sederhana, cukup dengan hasil panen yang baik atau sekedar pupuk murah. Hal ini bisa didapat dari Koperasi Barisan Tani Indonesia di dusunnya. Tiap musim tanam, Setra dan beberapa petani lainnya mendapatkan bantuan pupuk dan bibit sedangkan musim panen, Setra akan mendapatkan bantuan penyuluhan tentang cara panen yang efektif.

Beberapa musim panen terlewati, Setra masih mendapat bantuan tanpa syarat itu. Satu hal yang setra tahu, beberapa orang penyuluh dari kota mengenakan emblem palu arit didada kanannya. Suatu saat salah seorang penyuluh memberikan emblem untuk Setra sebagai kenang-kenangan karena masa tugasnya sebagai penyuluh di Kebonrejo telah selesai.

Keinginan Setra untuk ke kota sepertinya lama kelamaan makin padam tergantikan hasil panen yang makin meningkat tiap musim panen. Terlebih lagi bulan lalu Matrupi melahirkan buah hati yang sudah dua tahun ditunggu-tunggu kehadirannya. Setra masih masih ingat hari kelahiran Putra nya itu. Saat itu pagi hari, dengan kaki yang pincang dan terseret, Setra berlari meminta pertolongan dukun beranak Nyi Darsem. Rumahnya cukup dekat, tapi karena saat itu musim penghujan, jadi jalanan becek dan menyusahkan Setra berjalan. Jadilah anak laki-laki pertama Setra dipanggil Betcek (pelawalan huruf e pertama seperti membaca kata uler sedangkan e kedua seperti membaca kata lele)).

Betcek lahir dengan sehat. Dibawah pengawasan Matrupi dia tumbuh normal dan dijaga betul oleh Ibunya supaya tidak bernasib sama seperti Bapaknya, cacat menginjak mortir.

Melihat tumbuh kembang anaknya memberikan semangat lebih untuk bekerja bagi Setra. Setra makin rajin ke sawah dan memperluas tanah garapannya melalui sistem gadai. Matrupi sang istri ditemani Betcek selalu membawakan makan siang setiap hari untuk dimakan bersama di gubug sawah mereka.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Matrupi masih ingat saat itu. Pagi, tanggal 17 Desember 1965, Kebonrejo diguyur hujan gerimis. Sudah menjadi kebiasaan bagi Setra untuk sarapan dengan beberapa potong pisang goreng dan kopi hangat sembari mendengarkan radio. Betcek dipangku di pangkuan Setra saat suara di Radio memberitakan adanya penculikan terhadap para Jendral. Suara selanjutanya kurang jelas, mungkin karena hujan semakin deras. Beberapa waktu kemudian suara diradio terdengar jelas lagi. "…pengkhianatan ini dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia." begitu kurang lebih Matrupi mendengar suara dari radio.

Matrupi memandang Setra sejenak, hati nya kurang enak. Dipandanginya Setra, Matrupi melihat emblem palu arit di dada sebelah kiri Setra. Emblem pemberian Si penyuluh pertanian.         


You Might Also Like

4 komentar

  1. wah, mulai seru nih. setting waktunya memang bikin deg2an ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Agak meloncat sedikit ke Bab 3 dulu supaya bikin deg degan...

      Delete
  2. murtad dari petani jadi buruh... apa yang bezanya? ;-)

    ReplyDelete
  3. Seru ceritanya....

    Dibikin buka aja ntar mas

    ReplyDelete

Salam kenal gan... Silahkan berkomentar



“Orang boleh pandai setinggi langit,
tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Pramoedya Ananta Toer