MATRUPI (BAB 7 - MAGELANG, DESEMBER 1965)

Friday, January 03, 2020


Sepanjang jalan Betcek menangis dipangkuan Bapaknya. Mungkin karena risih kepanasan atau mabuk karena ini kali pertamanya naik bus. Sudah beberapa kali ditenangkan namun tetap menangis. Matrupi mengambil alih untuk menggendong Betcek dan menyusuinya. Sambil menyusui Matrupi memandang keluar dari jendela bus. Disana dia bisa melihat sawah terbentang luas dengan dibayangi deretan pegunungan di belakangnya.

Memasuki Kota Magelang pemandangan hijaunya sawah berganti dengan rumah-rumah dan hiruk pikuknya kehidupan Kota. Dibeberapa tempat terpampang dengan jelas coretan di dinding 'Gantung Aidit' atau 'Subandrio Anjing Peking'. Seorang wanita yang duduk 2 baris di depan Matrupi terlihat terisak. Orang-orang disekitarnya tidak menghiraukan  tangis lirihnya. Matrupi menebak apa yang ditangisi wanita itu. 'Bisa jadi wanita muda ini juga merupakan pengungsi, sama seperti aku dan Mas Setra', batin Matrupi. 

Wanita itu turun di persimpangan jalan, membawa tas koper besar. Matrupi sempat melihat mukanya. Matanya lebam dan menyiratkan kepedihan. Kemudian bus melaju melanjutkan perjalannanya. Meninggalkan wanita itu sambil lalu.

Hari sudah terik ketika Bus sampai di terminal bus kota magelang. Setra dan Matrupi membuka lagi catatan alamat yang telah dititipkan oleh carik Kebonrejo sebagai tujuan. Disana tertulis nama Sakiyem, dukuh Condong Catur, Sukun, Magelang. Sebelum melanjutkan perjalanan, mereka beristirahat disebuah warung di  dalam area terminal.

"Mbok, teh hangat nya dua ya," minta Matrupi melempar senyum kepada ibu penjual.

"Iya tunggu sebentar ya," jawab si Mbok. Dia dengan sigap menyeduh teh hangat ke gelas kosong dan menyuguhkannya di meja tempat Matrupi dan Setra duduk. "Ini nduk." katanya ramah. "anak nya umur berapa?"

"Umur setahun Mbok." jawab Matrupi

"Wah masi lucu ya, jadi ingat waktu anak saya bayi." kata si Mbok, kini dia ikut duduk dibangku sebelah Matrupi. "Dari mana dan mau kemana ini membawa koper besar"

Matrupi memandang Setra, memberikan   sedikit sinyal agar Setra yang menjawab. Memang dimasa seperti ini perlu kehati-hatian dalam memberikan informasi. "Rencana kami mau merantau ke Dusun Condong Catur Mbok."

"Oh sudah dekat itu Mas, naik delman saja." jawab si Mbok. Kini tangan si Mbok membuat gerakan-gerakan mengajak bermain Betcek, "Yang penting hati-hati ya… Banyak operasi. Si Mbok tau kalian bingung mencari tempat aman. Mbok tidak tahu kalian orang jahat atau baik yang kena getah. Yang jelas, tampilan kalian mencolok terlihat seperti orang jauh.  Pasti dicurigai."

Matrupi dan Setra terdiam. Sepertinya Si Mbok sangat paham situasi yang terjadi. Penangkapan dan operasi orang-orang yang dianggap 'merah' memang sudah berlangsung dari November.

Sebelumnya di terminal ini beberapa orang berpakaian polisi militer berpatroli dan mengecek identitas penumpang yang turun dari bus. Jika tidak dapat menunjukan identitas, maka akan di bawa ke kantor polisi. Bila dapat menunjukan identitas, namun berasal dari lokasi 'merah', maka tetap akan digelandang ke kantor polisi untuk pemeriksaan lebih lanjut. Hanya orang yang berasal dari daerah yang bersih dan dapat menunjukan identitas yang dibiarkan pergi.

Setra melanjutkan perbincangan dengan si Mbok. Mereka memutuskan untuk mempercayai Si Mbok, wanita paruh baya dengan kinang terselip di bibirnya. Setidaknya dari perbincangan itu Setra bisa mengorek informasi mengenai situasi Magelang dan dusun Condong Catur yang akan dia datangi.

"Apa yang dilakukan militer ke tersangka Komunis Mbok?" tanya Matrupi polos.

"Mbok juga tak tau pastinya Nduk. Yang pasti belum ada yang kembali setelah dibawa militer." jawab si Mbok. "Yang Mbok khawatir sebenarnya adalah preman-preman terminal itu. Mereka sudah sok jadi polisi, main gebug kanan kiri sambil minum minum." lanjut si Mbok, sekarang memuntahkan liur merah kinangnya ke lantai tanah.

"Siapa yang mereka gebug Mbok?"

"Ya, orang asing yang terlihat seperti Komunis. Kalau sudah begitu tukang becak didepan itu juga ikut main gebug. Semua jadi merembet, takutnya warung mbok ini juga kena jarah." jawab si Mbok. Kini suasana hening sejenak. "Kalian tidak penasaran bagaimana keadaan korbannya ?"

Setra dan Matrupi saling menatap. Keduanya mengangguk menunggu penjelasan si Mbok.

"Korbannya ya semaput. Diangkut pakai mobil polisi." jawab si Mbok enteng.
"Tenang saja Mas, Nduk… hari ini tidak ada operasi. Sebaiknya kalian segera saja ke Condong Catur. Supaya sampai tujuan sebelum gelap."

Matrupi, Setra dan Betcek akhirnya berpamitan kepada si Mbok. Mereka menaiki dokar seperti yang di usulkan si Mbok. Kenyataannya perjalanan ke Condong Catur cukup jauh. Setelah melewati deretan rumah padat di kota Magelang, mereka disambut jalanan tanah dengan pemandangan kanan dan kiri terhalang kebun tebu.

Matrupi ingat saat kecil dulu sempat dibawa Bapaknya berkunjung ke rumah Bulik Sakiyem sepulang membeli bibit padi di Magelang. Jalanannya sudah banyak berubah, untung mereka memiliki catatan alamat Bulik Sakiyem. 

Hari sudah sore saat dokar yang mereka naiki berhenti berjalan didepan sebuah rumah Joglo dengan halaman yang luas. Disana berdiri seorang wanita paruh baya menggunakan jarit sedang menyapu halaman. Dari kejauhan Matrupi memanggilnya, "Lik Sakiyem..."

Senyum ramah Bulik menyapa keluarga kecil Matrupi. Dulu beliau juga tinggal di Kebonrejo, namun merantau ikut suami yang bertugas sebagai guru di Condong Catur, Magelang. Bulik Sakiyem adalah adik tiri dari Ibu Matrupi. Meskipun tidak terlalu akrab, namun Matrupi ingat, Bulik Sakiyem sangat baik kepadanya. Setidaknya beberapa kali dia berkunjung kerumahnya selalu diberi sangu berupa uang atau minimal buah tangan untuk keluarga dirumah.

Kehangatan yang diberikan Bulik Sakiyem menenangkan Matrupi, setidaknya untuk malam ini dia bisa tidur di kasur kapuk yang hangat.

You Might Also Like

8 komentar

  1. Pemahaman tentang komunis di masayarakat kita sesungguhnya salah.
    Saya pun saat masih skeolah dulu juga memiliki pemahaman salah, semua emang hasil propaganda.
    wallahualam. Kasihan Matrupi dan Setra.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benar sekali tuh, mungkin pemahaman seperti ini yang harus digencarkan ke masyarakat luas.. Bahwa tidak semuanya seperti itu, mungkin hanyalah oknum nakal yang ingin kita terpecah belah seperti ini dengan melakukan tindakan tindakan yang tentu bisa merugikan diri maupun orang lain. Kalau seperti ini terus kan jadi was was terus jika ingin berkunjung ke suatu lokasi atau tempat,

      Delete
    2. Iyaaa, saya juga demikian, saya mengalami hal seperti ini. Namun, perlahan saya mengubah pandangan saya meski ya saya tidak langsung mengiyakan semua prinsipnya, tapi setidaknya saya memahami bahwa maksudnya tidak selalu buruk.
      Bukankah begitu?

      Delete
  2. wah, untung saja hari ini tidak ada operasi, pas banget nih kalo kayaknya saya juga pengen berkunjung ke Rumah Lik Sakiyem, hahaha...

    ReplyDelete
  3. Wahhh, ketinggalan deh aku
    Melipir dulu ke bab 1 deh~

    ReplyDelete
  4. Bener-bener niat ya gan, nulis sepanjang itu. 👍 Lanjutkan terus, gan.😆

    ReplyDelete
  5. Sepertinya menarik nih kisahnya meski kilas balik dulu nih ke yang pertama.😊😊

    ReplyDelete
  6. Nice info, thanks for share, oh ya saya mau berbagi, baru saja saya menemukan Video Viral tentang Hobby jadi Bisnis trus minum Kopi Terbaik sambil simak Media Kalteng baca tentang Paid Promote / Jasa Endorse untuk Jual Akik Gambar buat beli Printer laser white toner Lebihnya buat cari jasa desain grafis

    ReplyDelete

Salam kenal gan... Silahkan berkomentar



“Orang boleh pandai setinggi langit,
tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Pramoedya Ananta Toer