Pengemis Muda

Friday, July 04, 2014

Rasa-rasanya baru kemarin saya memutuskan untuk tinggal di Semarang, eh ternyata sudah hampir 3 tahun. Selama kurun waktu tersebut tidak banyak tempat yang pernah saya kunjungi di kota Semarang. Jalanannya pun saya tidak begitu kenal, kecuali jalan sekitar kampus dan jalan arteri kawasan Tugu Muda dan Simpang Lima. Cukup bisalah dibilang kurang gaul -_-.

Untuk sekedar jalan-jalan kadang waktunya kurang. Lebih baik dimanfaatkan untuk mengerjakan tugas yang luar biasa banyak (atau tidur!). Lagi pula keuangan tidak mengijinkan.

Karena saya jarang keluar untuk jalan, akhirnya saya juga jarang untuk ‘makan diluar’. Maksudnya, makan diluar kawasan kampus. Makan pagi, makan siang, dan makan malam entah apapun harinya saya makan di lingkungan kampus. Nah, ada fenomena menarik yang bisa anda rasakan tatkala anda makan di sekitar kampus saya!

Mahasiswa adalah Pasar
“Sumber Daya Manusia adalah harta paling berharga untuk membangun bangsa”- ANONIM

Lantas sumber daya manusia seperti apakah yang bisa kita ‘manfaatkan’ guna membangun bangsa kita? Jawabannya adalah SDM yang berkualitas. Kualitas SDM secara mikro dapat kita lihat dari tingkat pendidikannya.

Mahasiswa sebagai salah satu bagian dari masyarakat merupakan salah satu contoh SDM yang berkulitas. Seperti yang sudah saya jelaskan diatas, SDM berkulitas dapat ‘dimanfaatkan’, mahasiswa juga bisa kita manfaatkan.

Tidak mungkin kita memerintah mahasiswa untuk melakukan ini itu secara gratis agar kita mendapatkan keuntungan. Mahasiswa melek untung rugi, mereka tidak akan melakukan sesuatu hal tanpa keuntungan yang bisa mereka ambil. Satu-satunya cara untuk mengambil keuntungan murni dari mahasiswa adalah dengan menggerogoti rasa empatinya, atau rasa gengsinya kepada orang lain!

Dia Datang Silih Berganti Bagaikan Udara
Saya tidak tahu bagaimana keadaan dikampus lain. Yang saya tahu, jika saya makan disalah satu kedai, warung, ataupun restoran mini di sekitar kampus saya, selalu ada yang namanya pengemis. Cuma satu pengemis itu wajar. Kalau yang datang silih berganti? Kita makan 5 menit, pengemis yang datang bisa 2 orang, masih muda, masih kuat. Itu kan nggak wajar? Padahal, ditempat-tempat lain seperti kawasan Simpang Lima, Kota Lama, sangat jarang ditemui pengemis, dan kalupun ada, jumlahnya nggak sebrutal itu! Fenomena menarik bila kita bertanya, mengapa harus disekitaran kampus, mengapa bisa berombongan, mengapa harus mengemis, mengapa bentuk mereka gempal-gempal imut, mengapa yang datang itu-itu saja, berapa setoran setiap hari #ups dsb, dsb.

masih muda lho! sumber : google

masih muda lho! google
Saya maklum jika seperti ini. Kita seharnya bisa membantu yang seperti ini. google
Pengemis tua atau mengalami keterbatasan fisik itu wajar, karena memang sulit bagi mereka untuk mencari nafkah dengan jalan lain. Tapi kalau masih muda, terlihat kuat... Ah...

PS : 
Hubungkan sendiri premis-premis tersebut, karena saya terlalu takut untuk menyimpulkan sesuatu yang menurut saya sensitif. Ini antara agama, norma, dan kebaikan bagi pengemis itu sendiri. 

You Might Also Like

5 komentar

  1. iya nih... padahal ekonomi indonesia lagi bagus... tapi kenapa yg macam gini makin banyak?...

    ReplyDelete
  2. Masalah pengemis adalah msalah mental, mereka bukan tidak mampu untuk bekerja tpi sudah merasakan enaknya dapat uang tanpa harus cape2 bekerja, itu yang membuat mereka malas untuk bekerja

    ReplyDelete
  3. Kalau sudah masalah mental, seharusnya kita kasih mereka uang atau kita diamkan saja...?

    kalau saya si tergantung si pengemis itu sendiri... kalau memang pantas dikasih ya saya kasih, kalau nggak pantas ya saya cuekin... susah juga soalnya, rezeki kita kan sebagian hak mereka..

    ReplyDelete
  4. entah apa yg mnjadi penyebab adanya hal sperti itu,, smoga indonesia jauh lebih baik kedepannya.

    ReplyDelete
  5. DI bandung... alhamdulilah, pengemis cukup jarang setelah berlaku kebijakan dari wali kota

    ReplyDelete

Salam kenal gan... Silahkan berkomentar



“Orang boleh pandai setinggi langit,
tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Pramoedya Ananta Toer