Menara - Menara

Thursday, November 20, 2014

Saya berdiri diantara pasir dan batu kerikil, bahan pembuat menara. Orang bilang saya pekerja konstruksi, atau kuli, atau juga insinyur.

 Insinyur hanyalah ‘kelas buruh yang unggul’. Para insinyur bermimpi dan merencanakan sama giatnya seperti buruh. Tetapi lebih dari para buruh, insinyur yakin bahwa ada kesamaan terukur antara perencanaan dengan mimpi itu.

taman gantung babylonia
Pilar-pilar Hercules di Atlantis, Taman Gantung di Babylon, Piramid di Mesir, tembok besar di China adalah pijakan peradaban manusia. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada disiplin lain yang turut membangun peradaban, mereka bilang tingkat peradaban suatu bangsa bisa dilihat dari karya arsitektur monumental yang pernah dibuat. Dan hal macam itu dibuat oleh insinyur. 

Insinyur adalah kepanjangan lidah dari para arsitek. Apabila arsitek adalah pelukis maka insinyur adalah pematung. Membuat lukisan menjadi bentuk tridimensional bukanlah perkara mudah, karena per mimimeternya mengandung seni.

Ini yang patut menjadi cerminan (bagi saya). Terkadang insinyur terlalu sibuk dengan ‘sigma momen sama dengan nul’, padahal yang dikerjakan ini adalah sebuah karya seni. Seni itu dibuat tanpa adanya tekanan. Seni itu tidak terlalu membutuhkan apresiasi uang. Kepuasannya ada bila karyanya bertahan 1000 tahun dari sekarang. Atau ketika anaknya berkata kepada temannya ‘Ayahku yang membangun menara itu’...

PS : BBM sedang naik




You Might Also Like

1 komentar

  1. andaikan dalam sebuah proyek seluruh Insinyur-nya se idealis anda yg percaya bahwa:
    "yang dikerjakan ini adalah sebuah karya seni. Seni itu dibuat tanpa adanya tekanan. Seni itu tidak terlalu membutuhkan apresiasi uang"

    tapi sepertinya hal yg tidak mudah mengingat jumlah "buruh lain yg kelasnya sedikit tidak unggul" jauh lebih banyak, yg nama banyak diantaranya bahkan tak tau apa yg dimaksud seni disini

    #saya suka tulisannya, keep writing masamar sukamoco

    ReplyDelete

Salam kenal gan... Silahkan berkomentar



“Orang boleh pandai setinggi langit,
tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Pramoedya Ananta Toer