Ekspedisi Pedaksina - Bag 1

Monday, March 22, 2021


Pagi ini otakku masih tidak percaya terhadap apa yang kami temukan bulan lalu.

Sebelum bercerita lebih lanjut, perkenalkan namaku Yusuf. Seorang kandidat doktoral yang sedang menyelesaikan disertasi mengenai peninggalan sejarah di Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban. Sudah 2 bulan kami menggali disana, berbagai macam artefak telah ditemukan seperti guci, gerabah, dan batu bata kuno. Hal-hal semacam ini tidak begitu spesial dan mengejutkan, karena memang Jenu sudah lama terkenal sebagai daerah kuno yang dihuni manusia. Cukup membosankan sebenarnya menggali dan mengamati serta berhipotesa dari benda-benda yang sudah kita ketahui dari mana asalnya dan dari jaman apa mereka berasal. Jadi seperti sebuah pengulangan sistematik yang ditujukan sebagai syarat menjadi doktor. Aku ingin lebih dari pada itu, seandainya ada tengkorak manusia purba atau gajah purba di tempat penelitian.

Rasa bosan dan kurang minat itu tiba-tiba terpecah ketika dilapisan tanah sedalam 1,5 meter, seorang warga lokal yang ku pekerjakan menemukan sebuah kotak kayu dilapisi tembaga kusam. Kami membawanya ke sebuah rumah warga yang disulap sebagai kantor dan juga tempat penyimpanan barang temuan. Kotak ini cukup berat, mungkin sekitar 3 kilogram. Dengan hati-hati ku bersihkan permukaan kotak kayu tembaga itu. Pada permukaan luarnya terdapat lambang Surya Majapahit atau Wilwatika dan lambang-lambang lain yang belum dimengerti. Sejenak ku simpulkan kotak ini berasal dari jaman Majapahit. Biasanya dalam kotak seperti ini ada barang berharga yang disimpan karena kotak ini berfungsi sebagai brankas.

Aku mencoba untuk membuka kotak tua itu. Ada sistem kunci putar tembaga pada bagian atas disetiap sisi kotak. Beberapa bagian kayu dari kotak sudah sangat ringkih, ada kekhawatiran apabila kotak ini dibuka, kayu-kayu penyokong utama kotak akan hancur. Dengan perlahan ku putar kuncinya di ke-empat sisi dan menarik tutupnya.

Setelah dibuka, didalamnya berisi batangan-batangan logam tembaga berwarna kuning kusam. Ada 2 batang logam sepanjang 30 cm dengan lebar 7 cm dengan permukaan yang terpahat tulisan berbahasa sansekerta. Selain dua batang logam tadi terdapat lambang Surya Majapahit atau biasa disebut Wilwatika berwarna emas yang sepertinya digunakan sebagai bandul kalung.

Kami mencoba menggores logam-logam itu dengan keramik, memastikan apakah memang terbuat dari tembaga atau barangkali emas. Pada saat digores, ternyata menghasilkan bekas goresan berwarna kuning emas. Aku sangat yakin kotak ini bukan berlapis tembaga, namun berlapis emas. Batangan logam dan Wilwatika-nya juga merupakan logam emas. Untuk memastikannya, ku suruh Parno, asistenku untuk pergi ke toko emas dan mengajak salah satu pegawainya memeriksa penemuan kami. Beberapa saat kemudian, si tukang emas datang ke kantor. Dia membawa beberapa peralatan mulai dari timbangan, ember kecil, dan beberapa alat lain yang kurang ku pahami namanya.

"Ini emas murni Pak."  Si tukang emas mendekatkan Wilwatika ke matanya menggunakan kaca pembesar. "24 karat," ujarnya melanjutkan. "Bapak mau menjualnya?"

"Oh mohon maaf, ini tidak untuk dijual. Terimakasih atas waktunya." Ku kode Parno untuk membawa si tukang emas keluar dari ruangan dan membayarnya.

Saat itu sepertinya dewi fortuna sedang memihak penelitian kami.

Kami coba untuk membersihkan temuan emas ini. Dengan hati-hati ku coba untuk menggosoknya dengan sikat halus. Warna kuning dari emasnya sangat kontras dengan tulisan-tulisan Sanskrit yang berwarna lebih gelap. Aku mencelupkan batang emas ini kedalam larutan asam. Wuss... dengan segera batangan emas ini meluruh saling lepas seperti layaknya tumpukan kertas. Aku dibuatnya berdebar. Batangan ini bukanlah batangan emas yang solid, melainkan terbuat dari lembaran lembaran emas yang dimampatkan menjadi satu. Ku coba untuk melepaskan rekatan atar lembaran emas dan membersihkan beberapa lembarnya. Pada setiap lembarnya bisa dilihat tulisan-tulisan dalam bahasa Sansekerta. Hatiku berdegup kencang. Apakah ini sebuah prasasti tertulis? atau hanya sebuah hiasan bertahtakan tulisan-tulisan?

Melihat tulisan-tulisan itu, benakku langsung tertuju ke satu nama, Dr. Katherin. Segera ku telpon kawan lama ku itu, seorang ahli hagiografi dan transkrip kuno Jawa. Setiap senti dari benda-benda itu ku deskripsikan dengan sedetail-detailnya. Dia berkata bahwa semua prasasti tertulis yang ditemukan di era Majapahit maupun era sebelumnya hanya terbuat dari batu atau daun lontar. Tidak ada satupun bukti literasi yang terbuat dari logam, apalagi emas. Dia mengingatkan untuk tidak menyebarkan penemuannya terlebih dahulu. Intervensi pihak swasta dan pemerintah dikhawatirkan akan membuyarkan tujuan utama penelitian kami. "Aku sangat tertarik dengan penemuan mu. Aku akan segera sampai di Tuban", kata Dr. Katherin sebelum menutup telp nya.

Keesokan paginya, aku pergi ke Babat, sebuah stasiun kecil di Lamongan untuk menjemput Dr, Katherin. Dari Apron, ku lihat sesosok wanita berusia 30 tahunan, dengan rambut yang diikat ke belakang, mengangkat koper besarnya. Dia melambaikan tangan. Dengan segera ku hampiri untuk membantu mengangkat kopernya.

"Kathy..." Aku memanggilnya. "Bagaimana kabar mu nyonya Doktor?"

"Halo Cup... Kabar baik. Panggil nama aja dong, kayak sama siapa," protesnya. "Ayuk kita segera ke kantormu. Aku sudah tidak sabar."

Kami bergegas keluar stasiun menuju tempat parkir. Mobil kijang kotak berwarna hijau itu melaju menuju Jenu. Diperjalanan Dr. Katherin banyak bertanya bermacam hal mengenai kondisi awal lokasi penemuan kotak emas itu. Hampir dua jam, aku menjelaskan berbagai macam hipotesa awal ku mengenai siapa penulis prasasti ini dan untuk apa prasasti ini ditulis. Kami memutuskan menyebut prasasti ini sebagai 'Lontar Emas'.

Kami sampai di kantor siang hari. Ku persilahkan Dr, Katherin untuk beristirahat terlebih dahulu. Dia menolak dan langsung bertanya dimana meja kerjanya. Aku menyuruhnya untuk menggunakan meja yang berada di sebelah jendela. Kami telah mempersiapkan segala kebutuhannya di meja itu.

"Dimana lontar kita?" tanya nya.

Aku menyerahkan penemuanku itu. Dibukanya lembar demi lembar lontar emas ditangannya. "Hampir semuanya bisa kita baca," jelasnya. Di meja kerja sederhana itu, dia mulai menerjemahkan tulisan pada kitab lontar emas kedalam sebuah catatannya.

"Kita hanya butuh waktu satu minggu untuk menerjemahkan satu batang lontar emas ini." Dr. Katherin fokus pada lontar emas di depannya. "Kamu tahu, Aku pikir catatan ini akan menggantikan catatan Prapanca sebagai temuan hagiografis paling penting Jawa di abad pertengahan," celetuknya tertawa riang.

Pada suatu waktu Dr. Katherin memberitahu bahwa lambang diluar kotak berbentuk seperti peta dunia namun memiliki banyak daratan dan benua di sisi luarnya. Ketika ku perhatikan memang bentuknya mirip dengan peta yang kita lihat sekarang, kecuali daratan-daratan besar diluar dunia kita. Selain itu pada bagian bawah kotak juga terlihat bentuk candi yang identik seperti bentuk Candi Sukuh di Sukoharjo, Jawa Tengah. Kami hanya bisa berhipotesa, bahwa penemuan ini ada hubungannya dengan pembangunan Candi Sukuh.

Satu minggu telah berlalu. Pada sebuah malam, aku dikagetkan oleh panggilan Dr. Katherin dari meja kerjanya. Dengan segera ku hampiri dirinya. Dia memeluk dengan erat. "Batang pertama dari kitab lontar emas ini sudah ku terjemahkan." Kami berdua duduk bersebelahan. Sebatang rokok terlihat terselip di bibirnya.

"Kalau dulu kita mengenal Mpu Prapanca, kali ini aku mengenalkan mu pada karya hebat Mpu Denula." Dr. Katherin berkata sembari tersenyum.

Dia memperlihatkan catatan tangan panjang miliknya. Pada tiap-tiap tranlasi dari bahasa sansekerta, dia juga menyalipkan tambahan keterangan yang sekiranya bisa memperjelas kondisi dari cerita lontar ini. "Sesungguhnya aku tak tau lagi harus berkata apa kepadamu Yusuf, tapi malam ini aku akan membacakan sebuah catatan yang akan membuat perbedaan cara pandang kita akan sejarah dunia."

Dia membacakan semua yang dia tulis, hasil dari terjemahan lontar emas.


You Might Also Like

3 komentar

Salam kenal gan... Silahkan berkomentar



“Orang boleh pandai setinggi langit,
tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Pramoedya Ananta Toer